Sabtu, 18 Agustus 2012

Penanggalan Buta versus Penetapan Waktu Sempurna


Oleh Saudara Ayman ( drayman@fast-email.com)
Terjemahan oleh Adley ( adley194@gmail.com)


Setiap tahun, terdapat suatu kejadian yang kerap terjadi yaitu pertikaian antara para pengikut berbagai macam sekte mengenai kapan sebetulnya bulan yang dikatakan sebagai Ramadhan mulai dan selesai. Tahun inipun tidak terkecuali dan beberapa negara mengakhiri Ramadhan mereka satu hari lebih awal dari negara-negara lainnya.

Dalam kalendar yang dikenal dengan kalendar Islam, awal dari bulan Ramadhan tergantung pada pengamatan bulan sabit baru. Pengamatan bulan sabit baru ini bukanlah pekerjaan yang mudah dan hanya para pengamat ahli saja dalam kondisi penglihatan yang optimal mampu melihat bulan sabit baru tersebut. Oleh karena itu, sebagian besar masyarakat tidak pernah melihat bulan sabit baru tersebut dan hanya melihat bulan sabit berumur 1-2 hari. Kesulitan inilah yang merupakan alasan utama dari pertikaian mengenai penetapan waktu tersebut. Apa yang banyak orang tidak ketahui adalah permulaan dari bulan yang dikenal dengan nama Ramadhan tersebut tergantung dari banyak sekali macam faktor selain pengamatan bulan sabit baru ini.
Apa yang dikenal sebagai kalendar Islam saat ini, dicanangkan pada masa pemerintahan Khalifah Umar, jauh setelah kematian Muhammad dan turunnya wahyu Quran. Ini dikonfirmasikan dari bukti arkeologis dari koin-koin dan manuskrip-manuskrip pada zaman tersebut. [Silakan baca: Alan Jones, "The Dotting Of A Script And The Dating Of An Era: The Strange Neglect Of PERF 558", in Islamic Culture, 1998, Volume LXXII, No. 4, pp. 95-103.]
Menariknya, kata "hijri" tidak muncul dalam manuskrip-manuskrip sampai waktu yang jauh lebih ke depan, sehingga kita tidak betul-betul tahu berdasarkan pada apa sebetulnya penanggalan bebas era baru atau Hijriah ini.
Salah satu faktor yang mempengaruhi mulainya bulan yang dianggap sebagai Ramadhan pada masa sekarang tergantung kepada ketetapan waktu mulainya apa yang dianggap sebagai kalendar Islam. Sebagai contoh, jikalau kalendar tersebut dimulai tiga tahun lebih awal, maka pada tahun ini penanggalan mulainya Ramadhan akan menjadi lebih awal satu bulan. Seperti yang telah saya sebutkan di atas, kita tahu dari bukti arkeologis yang dapat diverifikasi kembali bahwa kalendar baru ini ditetapkan sekitar 638 AD, jauh setelah masa hidup Muhammad. Beberapa generasi kemudian, sebuah kisah bersirkulasi bahwa Umar memutuskan, setelah berkonsultasi dengan lainnya, untuk menjadikan tahun terjadinya peristiwa "hijrah" sebagai awal tahun dari era baru. Sehingga penetapan waktu Ramadhan pada masa sekarang tergantung tidak hanya pada pengamatan bulan sabit baru tapi juga terhadap keputusan bebas yang dibuat berabad-abad lampau.
Sebagai catatan tambahan, kaum tradisionalis juga telah mengatakan bahwa Muhammad pertama kali berpuasa pada tahun kedua setelah bermigrasi/"hijrah". Jadi menurut mereka, berarti ayat 2:185 diwahyukan pada awal-awal masa di Yathrib. Kaum tradisionalis juga mengatakan bahwa Surah 9 (yang mereka akui sebagai dasar perintah modifikasi kalendar) diwahyukan pada saat-saat terakhir kehidupan Muhammad. Dengan berpegang pandangan tradisional ini dan menanggal balik kalendar Islam ini sampai kepada tahun yang dikatakan tahun pertama "hijrah", kaum sectarian mengimplikasikan bahwa semasa hidupnya, Muhammad berpuasa pada tanggal-tanggal yang salah (lihat Appendiks).
Faktor lain yang mempengaruhi mulainya bulan yang saat ini dikenal sebagai Ramadhan adalahh urutan bulan pada saat sistem kalendar baru diadopsi. Pada masa"pra-Qurani", bangsa Arab tidaklah menggunakan satu kalendar yang standard. Kaum Arab menggunakan kalendar yang berdasarkan pada sistem 4, 5, dan 6 musim. Beberapa bangsa Arab "pra-Qurani" menggunakan sistem kalendar bangsa Persia. Yang lainnya menggunakan sistem kaum Yahudi dan beberapa yang lain menggunakan sistem bangsa Romawi. Kaum Nabatean biasa menentukan bulan-bulan berdasarkan zodiac dan oleh karena itu beberapa bangsa Arab menggunakan sistem kalendar berdasarkan bintang. Bahkan sistem 4 musim yang digunakan berbeda dengan sistem 4 musim modern yang kita kenal saat ini. Sebagai contoh, menurut Lisan Al-‘arab, "sayf" adalah musim semi, "qayth" adalah musim panas, "kharif"adalah musim gugur, dan "shitaa" adalah musim dingin. Etimologi bulan-bulan Rabi’ mendenotasikan kegiatan mencari rerumputan sebagai makanan pada musim semi dan gugur. Di Arabia musim hujan, yang akan mempercepat penumbuhan rumput-rumput yang mendukung kegiatan pencarian makanan tersebut, terjadi saat musim gugur. Hal ini dikonfirmasikan oleh fakta bahwa bangsa Arab yang menggunakan sistem 6 musim yang memecah musim gugur menjadi Rabi’ Al-tsani (musim gugur awal) dan Kharif (musim gugur akhir) sebelum adanya kalendar Islam saat ini. Dalam sistem ini, setiap musim berjalan selama dua bulan. Kalendar Umar yang baru yang kita kenal sekarang mempunyai urutan bulan-bulan yang berbeda. Keputusan bebas untuk menyusun ulang urutan bulan-bulan juga berpengaruh terhadap kapan mulainya bulan yang saat ini dikenal sebagai Ramadhan terjadi.
Oleh karena itu, selain faktor pengamatan bulan sabit baru, kita mempunyai 2 faktor yang diputuskan secara bebas yang mempengaruhi kapan Ramadhan dimulai. Sehingga, demi semua niat dan tujuan, bulan yang sekarang dikenal sebagai Ramadhan adalah betul-betul diputuskan secara bebas dan tidaklah berbeda dengan secara acak memilihi suatu bulan tertentu untuk melaksanakan puasa.
Permasalah dalam penetapan secara bebas bulan yang disebut sebagai Ramadhan merupakan permasalahan serupa yang dialami kaum Yahudi, Kristiani, dan sectarian dalam menentukan hari-hari "suci" mereka dalam suatu minggu tertentu. Sebagai contoh, kaum sectarian menyatakan bahwa hari Jum’at, yang mereka namakan Al-Jum’at (yang bertentangan dengan kata benda umum "yawm al-jum’at"/waktu berkumpul dalam Quran), adalah hari "suci" yang khusus, dimana menurut salah satu tradisi mereka, diciptakannya Adam. Apa yang sulit dimengerti oleh banyak orang adalah hitungan minggu itu betul-betul bebas sesuka hati. Sehingga, fakta menyatakan bahwa satuan minggu tidaklah selalu tujuh hari. Hitungan mingguan yang berkisar dari 4 sampai 20 pun ada. Sebagai contoh, kaum Mesir kuno menggunakan mingguan 10 hari sedangkan bangsa Maya menggunakan mingguan 20 hari. Satuan minggu secara umum adalah interval dari satu hari dagang ke hari dagang berikutnya. Hitungan 4 sampai 20 hari memungkinkan para petani dan pengrajin waktu yang cukup untuk mengumpulkan dan mentransportasikan produk-produk mereka untuk diperdagangkan. Oleh karena itu, terjadinya hari Jum’at tergantung kapan mingguan tujuh hari saat ini diadopsi secara bebas dan pada hari apa dimulainya minggu tersebut.
Tidak ada yang salah atau terlarang dengan kerangka waktu yang diputuskan secara bebas. Permasalahannya adalah seakan-akan Allah harus menuruti kerangka waktu yang diciptakan manusia secara bebas dan menyatakan kepada orang-orang bahwa Allah yang memerintahkan mereka untuk berpuasa dalam kerangka waktu ini atau itu yang ditentukan secara bebas atau menjadikan hari yang ditentukan secara bebas sesuka hati tersebut sebagai hari yang "suci". Permasalahan yang lain dengan kerangka waktu yang ditentukan secara bebas tersebut adalah kesalahan-kesalahan yang terjadi saat awal proses adopsi akan terpropagasi di masa yang akan dating dan akan bertambah besar dan semakin besar. Ini seharusnya tidaklah menjadi permasalahan karena kita tidaklah bertanggungjawab atas kesalahan para pendahulu kita. Sehingga suatu metode efektif untuk menentukan kerangka waktu haruslah sesuatu yang tidak memungkinkan kesalahan-kesalahan seperti itu untuk terjadi. Metode tersebut haruslah memungkinkan mereka yang meyakini untuk dapat menaati setiap saat perintah Allah yang tidak ada kaitannya dengan apa yang para pendahulu mereka putuskan untuk lakukan atau tidak. Hal ini mustahil dilakukan dengan menggunakan kalendar Islam yang dikenal saat ini, yang telah kita lihat dipengaruhi oleh keputusan-keputusan yang ditetapkan berabad-abad lalu. Permasalahan yang lain adalah, seperti yang sebelumnya telah kita saksikan bersama, dengan fakta bahwa orang-orang menggunakan sistem kalendar yang berbeda-beda pada masa sekarang dan masa lampau, suatu komando universal yang dapat dipahami oleh semua orang akan paling baik yang berdasarkan fenomena kosmis yang jelas dan nyata, dan bukannya berdasarkan kalendar-kalendar buatan manusia.
Sekarang setelah kita paparkan permasalahannya, marilah kita menyelam ke dalam Quran untuk mencari solusi dari permasalahan ini.
"Syahr Ramadhan" adalah bulan yang di dalamnya diturunkan Al Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda. Karena itu, barang siapa di antara kamu menyaksikan "al-syahr", maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan, maka sebanyak hitungan pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan hitungannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. (2:185)
Suatu pemahaman keliru yang umum adalah kata "syahr" berarti bulan (dalam perhitungan waktu). Namun, istilah "syahr"syahr" bukanlah bermakna demikian. Menurut kamus-kamus bahasa Arab Klasik, bangsa Arab biasa memanggil bulan (satelit yang mengelilingi bumi) sebagai "syahr". Tapi pada fase bulan yang bagaimana yang diimplikasikan oleh kata "syahr" tersebut?
Kamus-kamus bahasa Arab Klasik secara intensif membahas etimologi dari kata"syahr" ini. Misalnya dalam pembahasan kata "syahr", kamus memberikan kata"asy-harat", suatu turunan dari kata "syahr", yang artinya adalah wanita hamil yang perutnya bundar. Kamus-kamus juga memberikan makna kata "syahira(t)"sebagai wanita yang besar dan lebar. Kamus-kamus juga memberikan makna kata"asy-har" sebagai warna putih cerah dari bunga-bunga. Makna utama dari kata"syahr" itu sendiri adalah "something obvious" (sesuatu yang jelas),"something public" (sesuatu yang umum), "something wide" (sesuatu yang lebar), dan "something bright" (sesuatu yang terang). Oleh karena itu, semua etimologi dari kata Arab "syahr" tidak diragukan lagi dan secara jelas menyatakan sebagai bulan yang jelas, lebar, bundar, dan terang dan bukannya bulan sabit baru yang redup, kurus, dan tidak terlihat jelas.
Tidak ada bukti apapun adanya nama bulan pada masa "pra-Qurani" yang disebut Ramadhan. Kata benda umum "ramadhan" berarti "scorching heat" (panas membakar atau menyala-nyala). Satu-satunya turunan dari "Ra-Mim-Dhad"dalam Quran adalah pada kata "ramadhan", yang juga hanya muncul satu kali. Oleh karena itu, tidak ada cara untuk membandingkan secara langsung penggunaan kata ini pada ayat-ayat yang lain dari yang telah diberikan di atas.
Namun, seseorang dapat secara tidak langung memverifikasi maknanya. Ayat-ayat seperti 2:217 mengindikasikan terjadinya peristiwa pertarungan besar semasa "al-syahr al-Haram". Kita juga mengetahui bahwa konteks keseluruhan dari Surah 9 (atau bisa juga dibilang paruh kedua dari Surah 8 yang amat panjang, karena "bism Allah" merupakan satu-satunya pemisah) adalah mengenai memerangi para pemuja berhala yang melanggar perjanjian mereka. Ayat 9:81 mengindikasikan bahwa waktu terjadinya peperangan yang besar yang ditakuti oleh kaum munafik adalah waktu dalam tahun dimana cuacanya panas. Tidak jauh dari ayat itu, 9:86 berbicara mengenai suatu Surah yang diturunkan pada saat itu dan dari 2:185 kita tahu bahwa "syahr ramadhan" adalah saat dimana Quran diwahyukan sehingga ini memberikan koneksi tambahan antara "syahr ramadhan" dan "al-syahr al-Haram". Sehingga, bukti situasi dari Quran mendukung kenyataan bahwa "al-syahr al-Haram"/"syahr ramadhan" merupakan waktu dalam tahun yang panas dan makna ini sesuai dengan makna yang didapat dari kamus.
Dengan pemahaman ini, mari kita selesaikan terjemahan 2:185 yang kita mulai di atas:
Saat bulan purnama yang panas membakar menyala-nyala adalah bulan yang di dalamnya diturunkan Al Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda. Karena itu, barang siapa di antara kamu menyaksikan bulan purnama itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan, maka sebanyak hitungan pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan hitungannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. (2:185)
Sekarang 2:185 telah mempunyai informasi yang lengkap yang kita butuhkan untuk kapan memulai puasa. Ini adalah informasi yang lengkap yang tidak terpengaruh apapun sistem kalendar yang digunakan setiap bangsa atau kelompok karena informasi ini tidak bergantung kepada sistem kalendar manapun tapi bergantung depada fenomena kosmik yang mudah sekali untuk disaksikan.
Kapan sebetulnya panas membakar menyala-nyala ini terjadi? Waktu terjadinya adalah setelah summer solstice. Ini adalah waktu dimana matahari berada pada titik puncaknya dan oleh karena itu bayangannya berada pada kondisi terkecil; juga waktu dimana siang hari adalah terpanjang dan malam hari tersingkat. Ayat 25:45berbicara mengenai hubungan indikatif antara matahari dan bayangannya. Setelah summer solstice cuaca mulai menjadi panas.
Menarik sekali bahwa bulan purnama semasa summer solstice adalah fenomena khusus karena bulan mengikuti jalur edar yang lebih rendah dalam melintasi langit dibandingkan dengan bulan purnama pada waktu lainnya dalam satu tahun itu; dan karena alas an tertentu otak kita deprogram sedemikian rupa sehingga kita melihat bulan purnama semacam itu lebih besar dari keadaan normal. Sebetulnya, tidak hanya bulan purnama tersebut tampak lebih besar dari keadaan normal, tapi garis edar yang rendah dari bulan purnama tersebut membuatnya tampak oranye yang menciptakan respon visual yang kuat, meningkatkan kemampuan observasi pengamat di malam hari, dan membuat sang pengamat dapat melihat lebih baik bentuk dan detil yang dimiliki bulan ketimbang saat kejadian normal yang bercahaya putih (selagi menyetir, kita semua merasakan bagaimana melihat langsung ke lampu sorot putih yang terang mengurangi kemampuan penglihatan kita). Oleh karena itu, bulan purnama setelah summer solstice lebih mudah untuk disaksikan. Lebih dari itu, dikarenakan bulan berwarna oranye ini terlihat saat durasi hari-hari berada pada durasi terlama, pada saat penampakannya hari masihlah terang dan masih terasa panas. Semua tanda ini sudah barang tetntu bukan sebuah kebetulan.
Sekarang pertanyaan berikutnya yang patut dipertanyakan adalah mengenai tahun. Apakah hitungan tahun dalam Quran merupakan solar (berdasarkan matahari) atau lunar (berdasarkan bulan)?
Dia-lah yang menjadikan matahari sinar benderang dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya bertahap-tahap, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan. Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda-Nya kepada orang-orang yang mengetahui. (10:5)

Dari 10:5, dapat dilihat bahwa mempelajari bilangan tahun dan perhitungannya dibantu oleh salah satu atau kedua matahari dan bulan. Namun tidak disebutkan secara spesifik tahap tertentu dari bulan. Ayat lain yang betul-betul menjelaskan bahwa perhitungan tahun adalah solar dapat ditemukan dalam ayat 17:12:
Dan Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda, lalu Kami hapuskan tanda malam dan Kami jadikan tanda siang itu terang, agar kamu mencari karunia dari Tuhanmu, dan supaya kamu mengetahui bilangan tahun-tahun dan perhitungan. Dan segala sesuatu telah Kami terangkan dengan jelas. (17:12)
Kita tahu bahwa malam dan siang sudah barang tentu ditentukan oleh matahari dan bukannya bulan, ayat 17:12 secara pasti tanpa keraguan apapun mengatakan bahwa perhitungan tahun adalah tahun solar.
Konfirmasi tambahan terdapat dalam ayat 12:47-49 yang berbicara mengenai"tahun" yang secara pasti merupakan tahun solar karena terdapat referensi terhadap siklus agrikultur dan perencanaan panen yang harus dilakukan menurut musim-musim yang tidak berubah dari tahun yang satu ke tahun berikutnya.
Satu ayat yang seringkali salah diterjemahkan dan oleh karena itu membingungkan adalah 2:189. Berikut adalah terjemahan Yusuf Ali yang keliru:
They ask thee concerning the New Moons. Say: They are but signs to mark fixed periods of time in (the affairs of) men, and for Pilgrimage. It is no virtue if ye enter your houses from the back: It is virtue if ye fear Allah. Enter houses through the proper doors: And fear Allah: That ye may prosper. (2:189 - Yusuf Ali)
Mereka bertanya kepadamu mengenai Bulan Baru. Katakanlah: "Mereka hanyalah tanda untuk menandai periode waktu yang telah ditentukan dalam (mengatur urusan) manusia, dan untuk Haji. Dan bukanlah suatu kebajikan jika kamu memasuki rumah-rumahmu dari belakang. Namun merupakan kebajikan jika kamu takut kepada Allah. Masuklah ke dalam rumah-rumah melalui pintu-pintunya yang semestinya. Dan takutlah kepada Allah agar kamu sejahtera. (2:189 - Yusuf Ali)
Mohon perhatikan bahwa Yusuf Ali dan sebagian besar penerjemah lainnya menerjemahkan kata "ahila(t)" (bentuk jamak dari "hilal") sebagai bulan baru. Di pihak lain, makna yang diberikan untuk kata "hilal" oleh lexicon-lexicon bahasa Arab seperti by Al-MoHitAl-Wasit, dan Lisan Al-‘arab berbeda. Semua lexicon tersebut mengatakan bahwa "hilal" adalah bulan pada tahap awal dan akhirnya. Namun untuk suatu alas an tertentu, kebanyakan penerjemah mengabaikan fakta ini dan malahan menyatakan bahwa "hilal"/"ahila(t)" hanya bermakna bulan baru. Marilah sekarang kita ganti bulan baru dengan terjemahan yang sesuai:
Mereka bertanya kepadamu mengenai bulan sabit. Katakanlah: "Mereka adalah penunjuk waktu bagi manusia dan juga untuk debat. Dan bukanlah suatu kebajikan jika kamu memasuki suatu rumah dari belakangnya. Namun merupakan kebajikan jika kamu takut kepada Allah dan memasuki rumah-rumah melalui pintu-pintu utamanya. Dan takutlah kepada Allah agar kamu sejahtera. (2:189)
Menurut terjemahan yang telah dibetulkan, bulan sabit secara umum (baik bulan sabit yang menipis ataupun yang membesar) dapat bertindak sebagai alat penunjuk waktu.
Ayat lain yang berbicara mengenai penetapan waktu/"myqat" adalah 7:142 dimana Musa dijelaskan memenuhi "myqat"/ketetapan waktu. Jadi "myqat"/"mawaqit"bisa menegaskan penetapan waktu untuk menandakan penyelesaian suatu hal tertentu.
Dan telah Kami janjikan kepada Musa tiga puluh malam, dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh, maka sempurnalah waktu yang telah ditentukan Tuhannya, empat puluh malam… (7:142)
Kita juga dapat membaca mengenai 10 malam dalam 89:2.
Hal yang menarik adalah 10 malam adalah waktu persis yang dibutuhkkan untuk bulan purnama sampai pada tahap bulan sabit. Perhatikan hubungan antara 10 malam ekstra dalam 7:142 dan 10 hari dilangsungkannya "Hajj"/debat dalam 2:196. Kita membaca mengenai 10 hari dalam 2:196, 3 hari selagi "Hajj"/debat dan 7 hari ketika mereka yang keluarganya tidak berada dalam "al-masjid al-haram" (institusi yang berarti mendengarkan dan menaati larangan) kembali. Untuk mereka yang keluarganya berada dalam al masjid al-haram, mereka akan tinggal penuh 10 hari. Ini masuk akal karena mereka yang keluarganya tidak terorientasi kepada kebenaran dari Allah, haruus kembali lebih awal untuk mengajarkan keluarganya berdasarkan apa yang telah mereka pelajari. Sehingga, menghubungkan 2:1897:142, dan 2:196, kita bisa melihat bahwa "ahila(t)"/bulan sabit merupakan tanda waktu atas selesainya "Hajj"/debat dan bukan menunjukkan permulaannya.
Kita juga mengetahui dari 2:189 bahwa kita harus mendatangi rumah-rumah dari pintu utama mereka yang jelas dan bukan dari pintu belakang yang kurang terlihat. Ini menunjukkan kita bahwa "Hajj"/debat dimulai dengan bulan purnama yang jelas dan bulan sabit yang tidak terlalu jelas adalah yang mengakhiri "Hajj"/debat. Dengan cara ini, "Hajj"/debat berlangsung secara total 10 total hari, yang merupakan periode dimana bulan purnama menjadi bulan sabit:
<bulan purnama><---10 hari--><-- bulan sabit yang menipis 4-5 hari--><-- bulan sabit yang membesar 4-5 hari--><---10 hari--><bulan purnama>

Inilah bagaimana bulan-bulan sabit memberikan tanda waktu terhadap "Hajj"/debat. Lebih lagi, "Hajj"/debat merupakan hari-hari terhitung tertentu pada "asy-hur"/bulan-bulan purnama larangan. Mereka adalah 10 hari antara bulan purnama dan bulan sabit. Bulan purnama pertama dari kelompok bulan-bulan purnama larangan (bulan purnama yang panas membakar menyala-nyala/"ramadhan") adalah untuk waktu puasa sedangkan ketiga bulan purnama lainnya adalah untuk acara perdebatan. Hal ini memberikan orang-orang tiga kesempatan per tahun untuk berkumpul untuk berpartisipasi dalam acara "Hajj"/debat ini.
Ayat 2:184 berbicara mengenai berpuasa untuk beberapa/"ma’duudat" hari dan2:185 berbicara mengenai menyempurnakan hitungannya/"al-‘ida(t)". Kata"ma’duudat" secara umum berarti "beberapa yang sedikit"/"few" dan mengindikasikan suatu bilangan dengan kisaran 3-10 karena istilah tersebut digunakan sebagai bilangan yang secara mudah dapat dihitung dengan jari-jari tangan. Seperti yang telah kita lihat sebelumnya, 2:196 mengindikasikan bahwa waktu penuh untuk "Hajj"/debat adalah 10 hari bagi mereka yang keluarganya telah berada dalam kondisi al masjid al-haram dan tiga hari bagi mereka yang keluarganya belum berada dalam kondisi tersebut (dan dapat diperpendek menjadi dua menurut2:203). Perhatikan bahwa hitungan sempurnanya dikatakan sebagai "10 yang sempurna" dalam 2:196. Selain itu, 7:142 berbicara mengenai menyempurnakan tigapuluh malam dengan 10 untuk menjadikannya 40 malam. Mirip dengan hal di atas,28:27 berbicara mengenai menyempurnakan hitungan sampai pada 10. Oleh Karen itu, dalam 2:185 hitungan yang sempurna adalah 10 hari, yang sekali lagi adalah periode dari bulan purnama menjadi bulan sabit. Dengan demikian, bulan sabit sekali lagi berperan sebagai alat penanda waktu, dan untuk kasus ini, untuk waktu berpuasa.
Sekarang adalah waktu yang tepat bagaimana bulan-bulan purnama yang haram masuk ke dalam konteks ini semua. Pertama-tama, marilah kita tengok pandangan tradisional. Alasan mengenai kalendar Islam yang dikenal sekarang adalah ayat 9:37:
Sesungguhnya "nasi’a" adalah menambah kekafiran, disesatkan orang-orang yang kafir dengan hal itu, mereka menghalalkannya pada suatu tahun dan mengharamkannya pada tahun yang lain, agar mereka dapat mensesuaikan dengan bilangan yang Allah mengharamkannya maka mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah.  (Setan) menjadikan mereka memandang baik perbuatan mereka yang buruk itu. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. (9:37)
Keseluruhan kalendar lunar diadopsikan untuk menghindari "nasi’a" tersebut. Hal yang menarik adalah bahwa meskipun demikian tidak terdapat konsensus mengenai makna kata "nasi’a" sebenarnya. Beberapa orang menyatakan bahwa kata tersebut berarti tambahan suatu bulan kabisat. Beberapa yang lain menyatakan bahwa kata itu berarti penentuan yang asal-asalan dari "asy-hur" yang haram pada awal tiap tahun. Semua kamus bahasa Arab Klasik mengatakan bahwa "nasi’a" berarti"delay" (penundaan, keterlambatan, jeda) dan bahwa bangsa Arab biasa menunda awal dari "asy-hur" yang haram ini dengan menjadikan bulan Safar sebagai yang haram bukannya bulan Muharram. Dengan mengetahui etimologi kata tersebut yang berujung kepada "delay" (penundaan, keterlambatan, jeda) maka sangat mungkin bahwa semua kamus adalah referensi yang paling bisa dipertanggungjawabkan dan makna kata tersebut sama sekali tidak berhubungan dengan mengubah kalendar menjadi lunar, karena penetapan asal-asalan suatu "syahr" yang haram dapat ditunda dalam kalendar lunar semudah dalam kalendar solar.
Ayat lain yang digunakan sebagai landasan bahwa kalendar adalah total lunar adalah9:36. Berikut adalah terjemahan ayat 9:36 berdasarkan apa yang telah kita pelajari:
Sesungguhnya hitungan bulan purnama pada sisi Allah ialah dua belas bulan purnama, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah DIN (tanggung jawab) yang benar, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa. (9:36)
Kalendar solar Georgian memiliki beberapa periode bebas dengan 31 hari dan beberapa lain dengan 30 dan 28/29 hari untuk mendapatkan jumlah 12. Kalendar Islam yang dikenal saat ini sebetulnya mempunyai 12,3 bulan setiap tahunnya dan bukannya 12. Sekarang orang-orang akan mengatakan bahwa dalam tahun-tahun tertentu jumlah bulan pernama sebenarnya adalah 13. Namun, kita tidaklah perlu memusingkan mengenai bilangan ("’adad") bulan purnama dalam satu tahun. Yang kita pedulikan hanyalah hitungan ("’idat") bulan purnama dalam satu tahun.
Untuk mengilustrasikan perbedaan antara "’adad" dan "’idat", saya akan menggunakan contoh. Dalam beberapa negara yang mengaku negara Islam berlaku hukum mengenai perceraian bahwa terdapat periode menunggu selama 3 bulan sebelum perceraian tersebut menjadi final. Sehingga, pasangan yang bercerai pada tanggal 7 September akan mendapatkan keputusan final perceraian mereka pada tangga 7 Desember jika menggunakan kalendar Georgian. Atau dengan mengaplikasikan prinsip yang sama dalam kalendar Islam yang dikenal saat ini, pasangan yang bercerai pada tanggal 12 Muharram akan mendapatkan keputusan final perceraian mereka pada tanggal 12 Rabi’ Al-Tsani. Oleh karena itu, bilangan bulan tersebut adalah 3 dan periode menunggu dalam kedua kasus di atas kira-kira 90 hari. Seperti yang akan kita lihat berikutnya, hal ini berbeda dengan hitungan atau "’idat".
Ayat 2:228 memberikan petunjuk menarik mengenai perbedaan antara hitungan dengan bilangan absolut. Ayat ini menunjukkan kepada kita bagaimana periode menunggu dan "syahr" diukur.
Dapat dilihat dari 2:226-228 bahwa untuk kasus dimana pasangan memutuskan untuk bercerai setelah periode menunggu 4 "asy-hur" dalam 2:226, ayat 2:228menganjurkan periode menunggu tambahan sebanyak 3 kali menstruasi.
Hal yang menarik di sini adalah, dengan asumsi bahwa rata-rata siklus menstruasi adalah 28 hari dan hal itu berlangsung selama seminggu, menghitung 3 siklus menstruasi bisa saja antara 56+7=61 hari (jika si perempuan bermenstruasi tepat setelah bercerai) dan 82 hari (jka si perempuan ternyata selesai bermenstruasi tepat sebelum bercerai). Hal ini tentu berbeda dengan 90 hari yang telah kita bahas sebelumnya dengan menunggu 3 bulan.
Dalam ayat 2:226, dengan asumsi satu siklus dari satu bulan purnama ke berikutnya adalah 30 hari, maka menunggu selama 4 "bulan purnama" dapat berkisar antar 90 hari (jika bulan purnama terjadi tepat setelah pasangan berpisah) sampai 119 hari (jika bulan purnma terjadi tepat sebelum pasangan berpisah). Sekali lagi, hal ini berbeda dengan 120 hari berdasarkan 4 bulan absolut.
Observasi menarik lainnya terdapat dalam 2:234 yang berbicara mengenai 4 "asy-hur" ditambah 10 (hari?/malam?) kepada perempuan yang suaminya meninggal. Apakah 10 hari/malam yang terdapat setelah bulan purnama? Seperti yang telah kita lihat sebelumnya, ini adalah waktu yang dibutuhkkan bulan purnama sampai pada tahap bulan sabit kembali. Jadi di sini kita mendapatkan bulan sabit sebagai alat penanda waktu untuk tujuan menghitung periode menunggu.
Terdapat suatu tanda di sini yang dapat membantu kita untuk memahami 9:36secara benar. Jika Allah berbicara kepada kita mengenai bilangan (yakni angka absolut), maka karena telah berlalu milyaran tahun semenjak Dia ciptakan bulan dan bumi, angka absolut bukanlah 12 tapi pasti milyaran. Sehingga yang dimaksud di sini bukanlah angka absolut tapi bagaimana menghitung jumlah bulan purnama dalam satu tahun. Apa yang Allah wahyukan adalah bahwa kita harus selalu menghitung 12 bulan purnama dalam satu tahun, yang dari semua itu, empat di antaranya adalah haram. Kita mulai dari tanda yang telah diberikan kepada kita. Jadi dalam tahun solar yang dimulai dari saat summer solstice, bulan purnama pertama yang dihitung adalah yang terjadi setelah summer solstice dan itu merupakan bulan purnama"ramadhan"/panas membakar dan menyala-nyala. Jadi apa yang terjadi dalam tahun-tahun tertentu dimana kita mempunyai 13 bulan purnama dari satu summer solstice ke berikutnya? Jawabannya adalah sederhana sekali bahwa kita tidak usah menghitung bulan purnama ke-13. Ini secara otomatis akan menyelaraskan hitungan kembali dan bulan purnama "ramadhan" akan selalu menjadi bulan purnama pertama setelah summer solstice. Ini merupakan mekanisme yang sangat jelas dan secara mengejutkan begitu sederhana. Satu-satunya yang dibutuhkan adalah keyakinan kita kepada Allah dan menghitung hanya 12 bulan purnama dalam satu tahun meskipun kadang kala kita melihat 13. Hanya berdasarkan sistem ini dari Quran kita menghitung TEPAT 12 bulan purnama SETIAP tahun dan hal ini akan selaras dengan pergantian musim-musim.
Sekarang setelah teka-teki ini terpecahkan, marilah kita kembali kepada bulan-bulan purnama yang haram. Kita telah menentukan bahwa bulan purnama pertama setelah summer solstice (yaitu bulan purnama "ramadhan") adalah bulan purnama haram yang pertama. Oleh karena itu, menghitung 4 bulan purnama dimulai dengan yang pertama setelah summer solstice akan memberikan kita 4 bulan purnama haram dan seperti biasa, bulan sabit menandakan akhir periode tersebut (suatu periode sekitar 90+10 = 100 hari). Summer solstice terjadi pada bagian akhir bulan Juni (sekitar 22 Juni). Bulan purnama yang panas membakar menyala akan terjadi 0-30 hari setelahnya. Sehingga awal dari bulan-bulan purnama haram secara rata-rata terjadi sekitar awal minggu kedua bulan Juli dan akan berakhir sekitar minggu ketiga bulan Oktober (ini merupakan rata-rata namun bisa saja lebih awal atau bahkan sampi akhir Oktober, tergantung kapan bulan purnama terjadi setelah summer solstice). Sehingga blan-bulan purnama haram terjadi sekitar saat pertengahan musim panas sampai pertengahan musim gugur.
Waktu bulan-bulan haram ini sangatlah penting, terutama larangan yang ada pada bulan-bulan tersebut berkaitan dengan berburu hewan liar. Menarinya, larangan ini tidak meliputi hewan yang telah didomestikasi (lihat 5:1). Mengapa demikian? Jawaban yang mungkin adalah karena musim panas adalah waktu dimana kebanyakan hewan liar dan bahkan burung liar melahrikan. Dengan membunuh seekor hewan bentina liar, kita tidak hanya membunuhnya tapi juga membunuh semua anaknya yang belum mampu mencari makan sendiri ataupun melindungi diri mereka sendiri. Selain itu, menemukan hewan-hewan yang baru dilahirkan memberikan si pemburu keuntungan yang tidak adil karena sang induk kadang kala tidak berkeinginan untuk meninggalkan anak-anaknya tersebut atau si pemburu dapat dengan mudah menunggu dari jarak yang dekat sampai si induk kembali untuk anak-anaknya dan dengan mudah dapat membunuhnya. Di lain pihak, ketika induk dari hewan yang telah didomestikasi dibunuh, anak-anaknya dapat dengan mudah dirawat oleh orang-orang dan hewan-hewan itu akan baik-baik saja. Tentu saja, analisis kita mengindikasikan bahwa periode larangan akan berbeda antara belahan bumi selatan dan utara. Ini tidak masalah. Tidak ada dalam Quran yang mengindikasikan bahwa waktu ini harus sama bagi setiap orang di seluruh penjuru dunia. Kita harus mengorientasikan arah kita kepada kebenaran dari Allah dimana saja kita berada, baik di belahan bumi selatan maupun utara (baca 2:149).
Penetapan waktu larangan juga sangat penting berdasarkan Surah 106, yang secara total menegasikan argument bahwa kalendar yang dikenal sebagai kalendar Islam saat ini dapat digunakan untuk menentukan periode larangan/haram tersebut. Sistem 5 dan 6 musim yang digunakan bangsa Arab membagi apa kita kenal sebagai "musim panas" menjadi "sayf" (sekitar 22 April - 22 Juni) dan "qayth" (sekitar 22 Jun - 22 Agustus). Sehingga, "ramadhan" terjadi dalam "qayth" bukannya "sayf". Dalam kalendar lunar murni, bulan-bulan yang haram berubah dan pada akhirnya jatuh dalam "shitaa" atau dalam "sayf". Namun, menurut Surah 106, kaum Quraysh berpergian pada waktu-waktu tersebut sehingga tidak mungkin waktu-waktu tersebut merupakan waktu bulan-bulan purnama yang haram untuk "Hajj"/debat. Dengan mengetahui bahwa "Hajj" adalah pertemuan semacam acara tahunan dimana orang-orang mengumpulkan produk-produk mereka untuk dijual, maka sangat masuk akal bahwa kaum Quraysh akan berpergian semasa "sayf" sebelum awal dari bulan-bulan purnama haram dalam masa "qayth" untuk membeli barang-barang untuk dijual pada acara "Hajj"/debat. Setelah akhir dari bulan-bulan purnama, juga akan masuk akal bahwa mereka akan menggunakan uang yang mereka dapatkan saat berdagang dan berpergian untukk membeli barang-barang.
Kesimpulannya, kita dapat melihat bahwa Allah memberikan kepada kita tanda yang jelas dalam penetapan bulan yang haram. Tanda yang jelas ini tidak terkait dari sistem kalendar buatan manusia manapun dan malahan berdasarkan suatu fenomena kosmik yang dapat disaksikan dengan mudah. Bulan purnama oranye setelah summer solstice yang terlihat lebih jelas dan lebih besar menurut si pengamat dan berada pada garis pandang dapat disaksikan oleh hampir semua orang sehingga bahkan masyarakat primitif yang tidak mempunyai peralatan untuk menghitung siklus bulan sebelum terjadinya dapat menyaksikan fenomena tersebut. Ayat 2:185 tidak mengatakan "barang siapa yang diberitahu oleh seseorang, oleh seorang Mullah mengenai ‘al-syahr’", melainkan "barang siapa yang menyaksikan ‘al-syahr’". Ini adalah metode paling sederhana dan jitu yang akan menghasilkan perbedaan paling sedikit, tidak peduli seberapa primitif atau majunya suatu masyarakat dan tidak peduli sistem kalendar buatan siapa yang digunakan masyarakat tersebut. Lebih lagi, tanda waktu ini tidak terpengaruh oleh keputusan-keputusan yang diambil secara bebas oleh para pendahulu kita dan kita tidaklah harus menerima buta keputusan-keputusan tersebut. Sehingga mereka yang mempunyai keyakinan terhadap Quran dapat selalu baik sekarang maupun pada masa depan membuat permulaan baru dan mengembalikan sistem berdasarkan tanda waktu yang sebenarnya. Jadi jelaslah bahwa ini merupakan solusi penetapan waktu yang kokoh yang tidak terpengaruh oleh kesalahan-kesalahan yang disebarkan oleh generasi pendahulu kita.
Setelah menyelesaikan artikel ini, kapan tepatnya malam malam pengukuran/penetapan ("laylat al-qadr") terjadi secara tidak langsung ditemukan. Sederhana saja, menurut 2:185 Quran diturunkan pada malam terjadinya bulan purnama yang panas membakar menyala, yang juga merupakan malam al-qadr:
Sesungguhnya Kami telah menurunkannya pada malam ketetapan/al-qadr. (97:1)
Menarikanya adalah ayat 36:39 berbicara mengenai bulan diukur atau ditetapkan oleh Allah ("qadarnahu"):
Dan telah Kami tetapkan ("qadarnahu") bagi bulan tahap-tahap, sampai kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua. (36:39)
Malam "al-qadr"/ketetapan mengacu kepada malam bulan purnama dimana terjadinya awal transformasi bulan dan ditetapkan ("qadarnahu") menurut tahap-tahap ("manazila") sampai ia kembali menajdi bentuk tandan yang tua (baca juga6:96). Oleh karena itu, malam ketetapan adalah malam puasa (yaitu malam sebelum puasa ketika bulan purnama panas membakar menyala terlihat).
Satu hubungan menarik lainnya ditemukan dalam ayat 2:187, yang berbicara mengenai malam puasa ("laylat al-siyam") yang di dalamnya kita boleh menggauli istri-istri kita dan makan dan minum sampai benang putih terlihat jelas dari benang hitam waktu fajar dan lalu menyempurnakan puasa sampai malam (yaitu sampai matahari terbenam karena malam mulai dimasukkan ke dalam siang saat matahari terbenam - sebagai contoh bisa dibaca 22:61). Kita telah menetapkan bahwa puasa adalah selama 10 hari. Dalam Surah 89 kita juga membaca mengenai fajar dan 10 malam:
Demi fajar, dan malam yang sepuluh, dan yang genap dan yang ganjil. (89:1-3)
Menariknya, Allah mewahyukan bahwa malam ketetapan adalah damai sejahtera sampai terbitnya fajar. Selain itu, 89:3 berbicara mengenai "yang genap dan yang ganjil". Ini mungkin indikasi terhadap fakta bahwa 2 malam (genap) berkorespondensi dengan 1 siang (ganjil), dan 3 malam (ganjil) berkorespondensi dengan 2 siang (genap), dan seterusnya. Sehingga:
1 malam ketetapan/malam puasa/malam bulan purnama panas membakar menyala + 10 malam = 11 malam (ganil) = 10 siang hari puasa (genap)
Mari kita teruskan membaca Surah 97:
Dan tahukah kamu apakah malam ketetapan itu? Malam ketetapan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun mereka yang diberikan kuasa (malaikat) dan ruh dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu sejahtera sampai terbit fajar. (97:2-5)
Mengapa malam ketetapan lebih baik daripada 1000 "syahr"/bulan purnama?
Mungkin salah satu alasannya adalah karena terdapat dua cahaya saat terjadinya malam ketetapan: 1) cahaya yang dibawa oleh turunnya Quran (5:15, 4:174, 7:157, 42:52, 33:46) dan 2) cahaya bulan purnama (10:5, 25:61). Dan memang benar, salah satu yang bisa dipelajari dari Quran adalah bahwa satu malam pencerahan lebih baik daripada seumur hidup dalam ketidaktahuan dan kebutaan.
Meskipun kita telah menjawab beberapa pertanyaan, seperti biasa banyak pertanyaan yang belum terjawab. Sebagai contoh, apa perbedaan, jika ada, antara"’am" dan "sana(t)"? Keduanya sama-sama diterjemahkan sebagai "year" (tahun) tapi sepertinya ini tidak benar karena 29:14 menggunakan kedua kata tersebut.

PENGUMUMAN PENTING:

Kitab ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa. (2:2)
Artikel ini mencerminkan interpretasi pribadi saya terhadap ayat-ayat Quran per 14 November 2004. Saya akan mencoba untuk memajukan pemahaman saya dalam Quran dan alam semesta, kecuali jika Allah berkehendak lain dan mungkin Allah akan membimbing saya kepada yang lebih dekat dengan rasionalitas. Mohon lakukan verifikasi ulang semua informasi oleh anda sendiri seperti yang diwahyukan dalam17:36, dan ingatlah bahwa hanya jawaban "tidak ada lagi" yang merupakan jawaban kaum yang berpikir terhadap ayat 45:6. Jikalau Allah mengehendaki, artikel ini dapat memberikan hasil yang bermanfaat.

APPENDIKS

Menurut kabar barung yang tidak bisa diverifikasi kebenarannya, dinyatakan bahwa Abu Musa Asha'ari, Gubernur dari Basra menulis surat berikut kepada Khalifah Umar:
"Amir-ul-Mominin, we receive instructions from you every now and then, but as the letters are undated, and some times the contents of the letters differ, it becomes difficult to ascertain as to which instructions are to be followed."
"Amir-ul-Mu’minin, kami mendapatkan instruksi dari anda dari waktu ke waktu, tapi karena surat-surat tersebut tidak mempunyai tanggal dan kadang kala ini dari surat-surat tersebut berbeda-beda, sulit untuk memastikan instruksi mana yang harus dijalankan."
Kabar burung yang tidak bisa diverifikasi di atas yang mendasari kalendar baru lalu berjalan seperti di bawah ini:
Hal tersebut membuat Umar berpikir. Selagi itu, dia menerima sejumlah uang dari Yemen yang dapat diuangkan pada bulan Shaban. Umar berpikir bahwa praktek hanya menyebutkan bulannya dalam kasus seperti itu adalah metode cacat karena tidak bisa dipastikan apakah bulan yang dimaksud adalah bulan ini atau tahun berikutnya.
Umar lalu mengadakan sidang untuk mempertimbangkan usulan reformasi kalendar.   
Seseorang mengusulkan untuk mengadopsi kalender Romawi. Setelah didiskusikan, usulan tersebut ditolak karena kalendar Romawi ditanggali dari masa yang terlalu lampai dan menyulitkan.
Lalu dipertimbangkan berikutnya apakah kalendar bangsa Persia memungkinkan untuk diadopsi. Hormuzan menjelaskan fitur-fitur penting dari kalendar tersebut yang disebut 'Mahroz'. Konsesus menetapkan bahwa kalendar semacam itu tidak akan cocok bagi kaum Muslim.
Pendapat umum adalah daripada mengadopsi kalendar asing, kaum Muslim seharusnya mempunyai kalendar mereka sendiri. Hal ini disetujui, dan hal berikut yang dipertimbangkan adalah kapan era tersebut harus dimulai?
Seseorang mengusulkan bahwa era tersebut harus dimulai dari kelahiran Nabi Muhammad. Beberapa yang lain mengusulkan harus dimulai dari kematian beliau. Ali mengusulkan bahwa sebaiknya dimulai dari kaum Muslim bermigrasi dari Mekah ke Madinah. Setelah diskusi dilakukan, usulan Ali disetujui.
Nabi Muhammad bermigrasi pada bulan Rabi-ul Awwal, ketika tahun tersebut telah berjalan dua mulan dan delapan hari. Pertanyaan berikutnya adalah dari bulan apa era baru seharusnya dimulai.
Seseorang mengusulkan bahwa kalendar seharusnya dimulai dengan bulan Rajab karena pada periode pra-Islam bulan ini dianggap suci. Seseorang mengusulkan bahwa bulan pertama haruslah Ramadhan karena bulan tersebut suci bagi kaum Muslim. Usulan lain menawarkan bulan pertama seharusnya Zulhijah karena merupakan bulan perjalanan haji.
Usman mengusulkan bahwa karena di Arabia tahun dimulai dengan bulan Muharram, era baru juga seharusnya dimulai dengan bulan Muharram. Usul ini diterima. Tanggal disesuaikan dan dimundurkan 2 bulan dan delapan hari, dan kalendar Hijriah baru dimulai dengan hari pertama Muharram pada tahun migrasi terjadi ketimbang tanggal asli migrasi tersebut terjadi.

0 komentar:

Posting Komentar

Mari saling bersaksi

 

Bai`at Syahadat Copyright © 2011 | Template design by O Pregador | Powered by Blogger Templates